Wikipedia

Hasil penelusuran

Selasa, 04 Juni 2013


SEJARAH MUNCULNYA PERSOALAN-PERSOALAN THEOLOGI DALAM ILMU KALAM


BAB I
PENDAHULUAN

A.      Latar Belakang
      Pemakaian istilah Theologi terdiri dari kata “Theos” yang artinya “Tuhan”, dan “Logos”, yang artinya “Ilmu”(science atau study atau discouerse). Jadi Ilmu tentang ketuhanan yaitu yang membicarakan Zat Tuhan dari segala seginya dan hubungannya dengan alam. Theologi bisa tidak bercorak agama, tetapi merupakan bagian dari filsafat atau “ philosophical theology, atau “Filsafat Ketuhanan”. Theologi juga bisa bercorak agama sebagai suatu intellectual expression of religion, atau keterangan tentang kata-kata agama yang bersifat fikiran. Karena itu untuk pembatasan lapangan dan ketetapan arti kata “Theologi” biasanya dibubuhi dengan kualifikasi tertentu seperti theologi yahudi, theologi kristen, theologi katolik, atau theologi islam. Bahkan dengan kualifikasi lebih terbatas lagi seperti theologi apologetic (mempertahankan agama), theologi sistimatik, theologi sejarah dan sebagainya.
      Theologi banyak lapangannya namun pengertiannya namun yang umum ialah ilmu yang membicarakan kenyataan-kenyataan dan gejala-gejala agama dan membicarakan hubungan Tuhan dan manusia, baik dengan jalan penyelidikan maupun pemikiran murni, atau dengan jalan wahyu.
      Ilmu kalam sama dengan lapangan-lapangan ilmu Theologi, yaitu sekitar Tuhan, ada-Nya, keesaan-Nya, sifat-sifat-Nya dari segala segi dan hubungan Tuhan dengan manusia dan alam, berupa keadilan dan kebijaksanaan, qadha dan qadar pengutusan rasul-rasul sebagai penghubung antara Tuhan dan manusia, dan soal-soal yang berhubungan dengan kenabian, serta tentang keakhiratan dan hal-hal yang berkaitan tentang kehidupan disana.

B.       Rumusan Masalah
1.    Bagaimana  sejarah tentang perpecahan umat Islam setelah wafatnya Rasulullah?
2.    Bagaimana sejarah kemunculan Ilmu Kalam?






BAB II
PEMBAHASAN

A.      PERPECAHAN UMAT ISLAM SETELAH WAFATNYA UMAT RASULULLOH
      Menurut Hasan Nasution, kemunculan persoalan kalam dipicu oleh persoalan politik yang menyangkut peristiwa pembunuhan ‘Ustman bin Affan yang berbuntut pada penolakan Mu’awiyah atas kekhalifahan Ali bin Abi Thalib. Ketegangan antara Mu’awiyah dan Ali bin Abi Thalib mengkristal menjadi perang Siffin yang berakhir dengan keputusan tahkim (arbitrase). Sikap Ali yang menerima tipu muslihat Amr bin Al-Ash, utusan dari pihak Mu’awiyyah dalam tahkim, sungguhpun dalam keadaan terpaksa, tidak disetujui oleh sebagian tentaranya. Mereka berpendapat bahwa persoalan yang terjadi saat itu tidak dapat diputuskan melalui tahkim. Putusan hanya datang datang dari Allah dengan kembali kepada hukum-hukum yang ada dalam Al-Qur’an. La hukma illa lillah (tidak ada hukum selain dari hukum Allah) atau la hukma illa Allah (tidak ada perantara selain Allah) menjadi semboyang mereka. Mereka memandang Ali bin Abi Thalib telah berbuat salah sehingga mereka meninggalkan barisannya. Dalam sejarah Islam, mereka terkenal dengan nama khawarij, yaitu orang yang keluar dan memisahkan diri atau secerders.[1]
      Di luar pasukan yang membelot Ali, ada pula sebagian besar yang tetap mendukung Ali. Mereka inilah yang kemudian memunculkan kelompok Syi’ah. Menurut Watt, Syi’ah muncul ketika berlangsung peperangan antara Ali dan Mu’awiyah yang di kenal dengan Perang Siffin. Sebagai respon atas penerimaan Ali terhadap arbitrase yang ditawarkan mu’awiyah, pasukan Ali terpecah menjadi dua, satu kelompok mendukung sikap Ali-kelak disebut Syi’ah dan kelompok lain menolak sikap Ali kelak disebut Khawarij.[2]
      Harun lebih lanjut melihat bahwa persoalan kalam yang pertama kali muncul adalah persoalan siapa yang kafir dan siapa yang bukan kafir. Dalam arti siapa yang telah keluar dari Islam dan siapa yang masih tetap dalam Islam. Khawrij sebagaimana telah disebutkan, memandang bahwa orang-orang yang terlibat dalam peristiwa tahkim, yakni Ali, Mu’awiyah, Amr bin Al-Ash, Abu Musa Al-Asy’ari, adalah kafir berdasarkan firman Allah pada surat Al-Maidah ayat 44.[3]

Persoalan ini telah menimbulkan enam aliran teologi dalam Islam, yaitu:
1.    Aliran Khawarij, menegaskan bahwa orang yang berdosa besar adalah kafir, dalam arti telah keluar dari Islam, atau tegasnya murtad dan wajib dibunuh.
2.    Aliran Murji’ah, menegaskan bahwa orang yang berbuat dosa besar masih tetap mukmin dan bukan kafir. Adapun soal dosa yang dilakukannya, hal itu terserah kepada Allah untuk mengampuniatau menghukumnya.
3.    Aliran Mu’tazilah, yang tidak menerima kedua pendapat tersebut. Bagi mereka, orang yang berdosa besar bukan kafir, tetapi bukan pula mukmin. Mereka mengambil posisi antara mukmin dan kafir, yang bahasa Arabnya terkenal dengan istilah al-manzilah manzilatain (posisi diantara dua posisi).[4]
4.    Aliran Qadariyah, menurutnya manusia mempunyai kemerdekaan dalam kehendak dan perbuatannya.
5.    Aliran Jabariyah, menurutnya bahwa manusia tidak mempunyai kemerdekaan dalam kehendak dan perbuatannya.
6.    Aliran Mu’tazilah yang bercorak rasional mendapat tantangan keras darigolongan tradisional Islam, terutama golongan Hanbali,yaitu pngikut madzab Ibn Hanbal. Mereka yang menentang ini kemudian mengambil bentuk aliran teologi tradisional yang dipelopori Abu Al-Hasan Al-Asy’ari (935M). Disamping aliran Asy-ariyah, timbul pula suatu aliran di Samarkand yang juga bermaksud menentang aliran Mu’tazilah  yang didirikan Abu Mansur Muhammad Al-Maturidi.kemudian terkenal dengan aliran Al-Maturidiyah.

B.     HADIST TENTANG AKAN TERJADINYA PERPECAHAN UMAT ISLAM
                              Ada beberapa hadist yang kemudian muncul sebagai prediksi nabi dalam  Ilmu Kalam yang berkaitan dengan perpecahan umat, diantaranya adalah:

عَنْ اَ بِى هُرَ يْرَ ةَ اَنْ   رَسُوْ لُ اللهِ صلى الله عليه و سلم قَا لَ تَفَرَّ قَتِ ا ليَهُو دُ عَلَى اِ حْدَ ى وَ سَبْعِيْنَ فِرْ قَةٌ وَ ا لنَّصَا رَ ى مِثْلَ ذَ لِكَ وَ تَفْتَرِ قُ اُ مَّتِى عَلَى  ثَلاَ ثِ وَ سَبْعِيْنَ فِرْ قَةٌ .( ر و ا ه ا لتر مذ ى)

Artinya : “Dari Abu Hurairah r.a. beliau berkata, bahwa Nabi Muhammad SAW. Bersabda : “telah berfirqah-firqah orang Yahudi atas 71 firqah dan orang Nashara seperti itu pula dan akan berfirqah ummatku atas 73 firqah” (H.R Imam Tarmidzi)

اِ نَّ بَنِى اِ سْرَا ئِيْلَ تَفَرَّ قَتْ عَلَى ثِنْتَيْنِ وَ سَبْعِيْنَ مِلَّةٌ وَ تَفْتَرِ قُ اُ مَّتِى عَلَى ثَلاَثِ وَ سَبْعِيْنَ مِلَّةٌ كُلُّهُمْ فِى ا لنَّا رِ اِ لَّا مِلَّةٌ وَ ا حِدَ ةً.  قاَ لُوا : وَ مَنْ هِيَ يَا رَ سُو لُ ا لله ؟ قَا لَ : مَا اَ نَا عَلَيْهِ وَ اَ صْحَا بِى.                                                                                    
 ( ر و ا ه ا لتر مذ ى)
Artinya : “Bahwasannya Bani Israil telah berfirqah-firqah sebanyak 72 millah (firqah) dan akan berfirqah ummatku sebanyak 73 firqah, semuanya masuk neraka kecuali satu”.
Sahabat-sahabat yang mendengar ucapan ini bertanya: “Siapakah yang satu ini Ya Rasulullah?”
Nabi menjawab: “Yang satu itu ialah orang yang berperang (beri’tiqad) sebagai peganganku (i’tiqadku) dan pegangan sahabat-sahabatku”. (H.R Imam Tirmidhi)

C.    SEJARAH KEMUNCULAN ILMU KALAM
                        Ilmu kalam sebagai ilmu yang berdiri sendiri belum dikenal pada masa Nabi Muhammad SAW, maupun pada masa sahabat-sahabatnya.[5] Akan tetapi baru dikenal pada masa berikutnya, setelah ilmu-ilmu keislaman yang lain satu per satu muncul dan setelah orang banyak membicarakan tentang kepercayaan alam gaib (metafisika). Kita tidak akan dapat memahami persoalan-persoalan ilmu kalam sebaik-baiknya kalau kita tidak mempelajari faktor-faktor yang mempengaruhi timbulnya, kejadian-kejadian politis dan historis yang menyertai pertumbuhannya. Faktor itu sebenarnya banyak, akan tetapi dapat digolongkan kepada dua bagian, yaitu faktor-faktor yang datang dari dalam islam dan kaum Muslimin sendiri dan faktor-faktor yang datang dari luar mereka, karena adanya kebudayaan-kebudayaan lain dan agama-agama yang bukan islam.


SEBAB-SEBAB DARI DALAM
1.      Qur’an sendiri di samping ajakannya kepada tauhid dan mempercayai kenabian dan hal-hal lain yang berhubungan dengan itu, menyinggung pula golongan-golongan dan agama-agama yang ada pada masa Nabi Muhammad SAW, yang mempunyai kepercayaan-kepercayaan yang tidak benar. Qur’an tidak membenarkan kepercayaan mereka dan membantah alasan-alasannya, antara lain :
a.       Golongan yang mengingkari agama dan adanya Tuhan dan mereka mengatakan bahwa yang menyebabkan kebinasaan dan kerusakan hanyalah waktu saja.
b.      Golongan-golongan syirik, yang menyembah bintang-bintang, bulan, matahari yang mempertuhan Nabi Isa dan Ibunya, yang menyembah berhala-berhala
c.       Golongan-golongan yang tidak percaya akan keutusan Nabi-nabi dan tidak mempercayai kehidupan kembali di akhirat nanti
d.      Golongan yang mengatakan bahwa semua yang terjadi di dunia ini adalah dari perbuatan Tuhan semuanya dengan tidak ada campur tangan manusia (yaitu orang-orang munafiq)
Tuhan membantah alasan-alasan dan perkataan-perkataan mereka semua dan juga memerintahkan Nabi Muhammad SAW untuk tetap menjalankan da’wahnya sambil menghadapi alasan-alasan mereka yang tidak percaya dengan cara yang halus. Firman Tuhan :
اُ  دْ عُ اِ لَى سَبِيْلِ رَ بِّكَ بِا لْحِكْمَةِ وَ ا لمَوْ عِظَةِ ا لحَسَنَةِ وَ جَا دِ لْهُمْ بِا لَّتِي هِيَ  اَ حْسَنُ. اِ نَّ رَ بَّكَ  هُوِ اَ  عْلَمُ بِمَنْ ضَلَّ  عَنْ سَبِيْلِهِ وَ هُوَ  
  اَ عْلَمُ بِا لمُهْتَدِ يْنَ                                                               
 “Ajaklah mereka kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan nasehat-nasehat yag baik dan bantahlah mereka itu dengan jala yang lebih baik”. (An-Nahl 125)

Adanya  golongan-golongan tersebut disamping adanya perintah Tuhan dalam ayat ini sudah barang tentu membuka jalan bagi kaum muslimin untuk mengemukakan alasan-alasan kebenaran ajaran-ajaran agamanya di samping menunjukkan kesalahan-kesalahan golongan-golongan yang menentang kepercayaan-kepercayaan itu, dan dari kumpulan alasan-alasan itulah berdiri ilmu kalam.
2.      Ketika kaum Muslimin selesai membuka negeri-negeri baru untuk masuk Islam, mereka mulai tenteram dan tenang fikirannya, disamping melimpah-limpahnya rizqi. Di sinilah mulai mengemukakan persoalan agama dan berusaha mempertemukan nas-nas agama yang kelihatannya saling bertentangan. Keadaan ini adalah gejala umum bagi tiap-tiap agama dan masyarakat. Setelah itu datanglah fase penyelidikan dan pemikiran dan membicarakan soal-soal agama secara filosofis. Disinilah kaum muslimin mulai memakai filsafat untuk memperkuat alasan-alasannya.

SEBAB-SEBAB DARI LUAR
a.    Banyak diantara pemeluk-pemeluk Islam yang mula-mula beragama yahudi, masehi, dan lain-lain bahkan diantara mereka ada yang sudah jadi ulama’nya. Kemudian dimasukkan dalam ajaran Islam.
b.    Golongan Islam yang dulu terutama golongan Mu’tazilah memusatkan perhatiannya untuk penyiaran Islam dan membantah alasan-alasan mereka yang memusuhi Islam dengan menggunakan senjata filsafat sebagai senjata kaum muslimin.
c.    Sebagai kelanjutan dari sebab tersebut, para Mutakalliminhendak mengimbangi lawan-lawannya yang menggunakan filsafat, maka mereka terpaksa mempelajari logika dan filsafat terutama segi ketuhanan.

D.    PERSOALAN POLITIK BERAKIBAT PADA PERSOALAN THEOLOGI
Persoalan politik yang terjadi, berakibat pada peesoalan theologi sehingga munculnya aliran-aliran tetentu, antara lain:  
1.         Syi’ah
Golongan  ini sangat fanatik kepada, khalifah Ali bin Abi Thalib dan, keturunannya. Mereka berkeyakinan tidak seorangpun yang berhak memegang, menduduki jabatan kekhalifahan kecuali dari keturunan Ali. Jika orang yang mengakui khalifah bukan dari keturunan Ali, berarti merampas hak kekuasaan dan kekhalifahannya tidak syah. Tetapi akhirnya golongan ini dimasuki pula oleh unsur-unsur yang menyimpang dari pokok-pokok agama Islam.

                  2.      Qadariyah
Golongan Qodariyah, pokok pemikirannya adalah bahwa usaha dan gerak perbuatan manusia ditimbulkan sendiri, bukan dari Allah. Faham ini, mula-mula dianjurkan oleh Ma’bad Al-Juhainy, Ghailan al-Dimasyqi dan Al-Ja’du bin Dirham. Ketiga tokoh ini hidup pada zaman Daulah Umaiyah dan ketiganya mati terbunuh.
3.      Jabariyah
Golongan ini muncul di Khurasan, yang dipelopori oleh Al-Jaham bin Shafwan la berpendapat bahwa hidup manusia ini sudah ditentukan oleh Allah Ta’ala. Segala gerak-geriknya dijadikan Tuhan semata-mata, manusia tidak dapat berusaha dan menggerakkan dirinya. Mereka juga meniadakan sifat-sifat Allah Ta’ala. “Kita tidak boleh menyifati Allah Ta’ala, dengan suatu sifat yang bersamaan dengan sifat-sifat yang terdapat pada makhluknya”. Pemimpin golongan ini, akhirnya terbunuh juga di Khurasan.
4.      Murjiah
Golongan Murji’ah berpendapat, bahwa kemaksiatan tidaklah menghilangkan keimanan atau tidak memberi bekas terhadap keimanan seseorang, sebagaimana ketaatan, tidak memberi pengaruh kepada orang yang kafir.
5.    Khawarij
Golongan ini pada mulanya adalah pengikut setia Khalifah Ali, namun mereka memisahkan diri akibat tidak setuju dengan kebijakan khalifah menerima perdamian dengan Mu’awiyah pada saat perang Siffin. Mereka berpendapat bahwa orang yang mengerjakan dosa besar, atau meninggalkan kewajiban-kewajiban yang sampai mati belum sempat tobat, maka orang itu dihukumkan keluar dari Islam dan menjadi kafir. Jadi mereka abadi dalam neraka.
6.         Mu’tazilah
Golongan Mu’tazilah ini salah satu pokok pikirannya adalah, bahwa orang Islam yang mengerjakan dosa besar, atau meninggalkan kewajiban-kewajiban, yang sampai matinya belum sempat bertobat, maka orang itu dihukum keluar dari Islam, tetapi tidak menjadi kafir, hanya fasiq saja, namun menurutnya orang fasiq akan abadi di neraka.


7.      Ahli Sunah wal Jama’ah
Kelompok ini biasa menyebut dirinya Islama Aswaja. Pemahaman  mereka ialah bahwa yang dihukumkan dengan orang Islam, ialah orang yang memenuhi tiga syarat, yaitu : menuturkan dua kalimat syahadat dengan lisan, dan diikuti dengan kepercayaan hati dan buktikan dengan amal. Menurut Ahli Sunah wal Jama’ah, bahwa orang yang mengerjakan dosa besar atau mengingkari kewajiban-kewajiban yang diperihtahkan Allah sampai mati tidak sempat tobat, dihukumkan sebagai mukmin “yang melakukan maksiat. Hukumnya di akhirat kelak, bila tidak memperoleh ampunan dari Allah akan masuk neraka untuk menjalani hukumannya. Sesudah menjalani azab dan hukumnya itu, ada harapan mendapat kebebasan dan masuk surga.

                                                   





















BAB III
PENUTUP
A.      KESIMPULAN
Perpecahan umat Islam setelah wafatnya Rasulullah dipicu oleh persoalan politik akibat peristiwa terbunuhya ‘Utsman bin Affan. Hal ini mengakibatkan  munculnya beberapa aliran teologi dalam umat Islam, antara lain:
1.      Aliran Khawarij
2.      Aliran Murji’ah
3.      Aliran Mu’tazilah
4.      Aliran Qadariyah
5.      Aliran Jabariyah
Ilmu kalam sebagai ilmu yang berdiri sendiri belum dikenal pada masa Nabi Muhammad SAW, maupun pada masa sahabat-sahabatnya. Akan tetapi baru dikenal pada masa berikutnya, setelah ilmu-ilmu keislaman yang lain satu per satu muncul dan setelah orang banyak membicarakan tentang kepercayaan alam gaib (metafisika).
Faktor-faktor yang mempengaruhi timbulnya Ilmu Kalam adalah:
1.      Faktor dari dalam
·         Qur’an sendiri di samping ajakannya kepada tauhid dan mempercayai kenabian dan hal-hal lain yang berhubungan dengan itu, menyinggung pula golongan-golongan dan agama-agama yang ada pada masa Nabi Muhammad SAW, yang mempunyai kepercayaan-kepercayaan yang tidak benar.
·         Ketika kaum Muslimin selesai membuka negeri-negeri baru untuk masuk Islam, mereka mulai tenteram dan tenang fikirannya, disamping melimpah-limpahnya rizqi.
·         Sebab yang ketiga adalah soal-soal politik
2.      Faktor dari luar
·         Memasukkan ajaran agama terdahulu kedalam ajaran Islam.
·         Menggunakan filsafat sebagai senjata kaum muslimin
·         Hendak mengimbangi lawanya degan menggunakan filsafat.



DAFTAR PUSTAKA

Anwar, Rohison, Prof. Dr. M.Ag, Ilmu Kalam, CV Pustaka Setia, Bandung, 2001.
Hanafi, Ahmad, M.A, Theology Islam (Ilmu Kalam), PT Bulan Bintang, Jakarta,1996.
Watt, Montgomery, Pemikiran Theologi dan Filsafat Islam, terj. Umar Basalim. Penerbit P3M, Jakarta, 1987.



[1] W.Montgomery Watt, Pemikiran Theologi dan Filsafat Islam, terj. Umar Basalim. Penerbit P3M, Jakarta, 1987, hal. 10.
[2] Ibid., hal. 6-7.
[3] Ibid.,
[4] Ibid, hal. 9.
[5] Ahmad Hanafi M.A, Theology Islam (Ilmu Kalam), PT Bulan Bintang, Jakarta,1996, hal. 6.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar